6. Binatang-Binatang Yang Dilarang Untuk Dibunuh.
Sebaliknya ada beberapa jenis binatang yang dilarang oleh agama untuk dibunuh.
Maka dilarangnya membunuh binantang itu, berarti dilarang pula memakannya.
Karena kalau binatang itu termasuk yang boleh dimakan, bagaimana cara
memakannya kalau dilarang membunuhnya? Di antara binatang tersebut adalah
seperti yang disebutkan dalam riwayat Ibnu Abbas, beliau berkata:
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ قَتْلِ
أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ النَّمْلَةُ
وَالنَّحْلَةُ وَالْهُدْهُدُ وَالصُّرَدُ
Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuh empat jenis
binatang, yaitu: semut, lebah, burung hud-hud dan burung shurad (sejenis burung
gereja). [HR. Abu Daud, Kitab al-Adab, Bab fi Qatli Ad-Dzur No; 5267].
Sebagian ulama berpendapat bahwa kodok termasuk dalam hal ini. Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Utsman, seorang thabib (dokter) datang kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm dan bertanya tentang kodok yang dibuat
menjadi obat, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuhnya. [HR.Ahmad,
Nasa’i dan dishahihkan oleh Al-Hakim]
Kodok bisa hidup di dua tempat di air dan di darat, seperti halnya buaya, maka
sebagia ulama mengharamkannya.
7. Binatang Yang Lahir Dari Perkawinan Dua Jenis Binatang Yang Berbeda, Yang
Salah Satunya Halal Dan Yang Lainnya Haram.
Hal ini karena memasukkannya ke binatang yang haram lebih baik dari
menghubungkannya kepada induknya yang halal. Seperti Bighal yang lahir dari
keledai negeri yang haram dimakan dan kuda yang boleh dimakan.
8. Binatang Yang Menjijikkan.
Semua yang menjijikkan -termasuk binatang - diharamkan oleh Allah. Sebagaimana
firmanNya:
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ
Dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. [al-A’raf : 157].
Namun kriteria binatang yang buruk dan menjijikkan pada setiap orang dan tempat
pasti berbeda. Ada yang menjijikkan pada seseorang misalnya, tetapi tidak
menjijikkan pada yang lainnya. Maka yang dijadikan standar oleh para ulama’
adalah tabiat dan perasaan yang normal (salim) dari orang Arab yang tidak terlalu
miskin yang membuatnya memakan apa saja. Karena kepada merekalah Al-Qur’an
diturunkan pertama kali dan dengan bahasa merekalah semuanya dijelaskan.
Sehingga merekalah yang paling mengetahui mana binatang yang menjijikkan atau
tidak. (lihat penjelasan syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa, juz 9
hal. 26 dan seterusnya).
Kalau binatang itu tidak diketahui oleh orang Arab, karena tidak ada binatang
sejenis yang hidup di sana, maka dikiyaskan (dianalogikan) dengan binatang yang
paling dekat kemiripannya dengan binatang yang ada di Arab. Jika ia mirip
dengan binatang yang haram maka diharamkan, dan sebaliknya. Tetapi jika tidak
ada yang mirip dengan binatang tersebut maka dikembalikan kepada urf (tradisi)
penduduk setempat. Kalau kebanyakan menganggapnya tidak menjijikkan, Imam
at-Thabari membolehkan untuk dimakan, karena pada asalnya semua binatang boleh
dimakan, kecuali kalau itu membahayakan.
Binatang Yang Haram Dimakan karena Faktor Yang Datang Dari Luar.
Di antaranya adalah sebagai berikut;
1. Binatang sembelihan yang tidak disebutkan nama Allah ketika menyembelihnya.
Sebagaimana firman Allah
وَلاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ
اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ
لَفِسْقٌ
Dan janganlah kamu memakan binatang –binatang yang tidak disebut nama Allah
ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu
kefasikan. [Al-An’am : 121].
2. Bangkai
Yaitu binatang yang mati dengan tidak disembelih; atau binatang yang disembelih
tetapi dengan cara yang tidak sesuai dengan syariat; atau disembelih sesuai
dengan syariat tetapi dengan tujuan yang tidak dibenarkan oleh syara’, seperti
penyembelihan yang dipersembahkan kepada dewa atau ritual-ritual kesyirikan
lainnya. Sebagaimana firman Allah
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ
وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ
إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا
ذُبِحَ عَلَى النُّصُب
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan)
yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang
jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang kamu sempat
menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. [Al-Maidah :
3].
Termasuk sembelihan yang tidak boleh dimakan adalah sembelihan-sembelihan yang
ditujukan untuk arwah-arwah orang yang telah mati, arwah-arwah dewa, jin dan
lainnya. Begitu juga sembelihan orang Nashrani dan orang-orang non muslim yang
dilakukan pada kesempatan acara ritual dan upacara keagamaan mereka. Karena
semuanya termasuk ke dalam sembelihan yang disembelih untuk selain Allah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam menafsirkan firman Allah وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
اللّهِ بِهِ berkata: “Zahir ayat ini
menunjukkan larangan menyembelih untuk selain Allah, seperti mengatakan:
“Sembelihan ini ditujukan untuk si fulan”, dan lainnya. Kalau ini yang dimaksud
maka diucapkan atau tidak sama saja. Dan ini lebih diharamkan daripada
mengatakan: “Saya menyembelih dengan nama Al-Masih”, atau seumpamanya. Apabila
menyembelih dengan nama al-Masih atau al-Zahrah diharamkan, maka menyembelih
untuk dipersembahkan demi al-Masih atau al-Zahrah lebih diharamkan.
Oleh karena itu menyembelih karena selain Allah untuk mendekatkan diri
kepadanya termasuk yang diharamkan. Sekalipun mereka membaca basmalah,
sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok munafik dari umat ini yang mendekatkan
dirinya kepada bintang-bintang dengan sembelihan dan lainnya. Begitu juga yang
dilakukan oleh orang jahiliyah di Makkah yang menyembelih untuk jin, oleh
karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan
sembelihan yang ditujukan untuk jin. [Lihat Fathul Majid hal. 126].
Az-Zamakhsyari mencontohkan, kebiasaan orang-orang Jahiliyah apabila membeli
rumah atau membangun rumah baru, mereka mengeluarkan jin yang ada di dalamnya
dengan menyembelih sesembelihan, hal itu dilakukan karena takut diganggu oleh
jin.
Ibrahim al-Marwazi juga menyebutkan bahwa sembelihan yang dilakukan ketika
menyambut pemimpin untuk mendekatkan diri kepadanya, telah difatwakan
keharamannya oleh ulama-ulama Bukhara, karena termasuk yang disembelih karena
selain Allah. [Lihat Fathul Majid hal. 127]
Orang yang melakukan penyembelihan karena selain Allah telah melakukan satu
kesyirikan, karena menyembelih juga termasuk ibadah yang harus dilakukan karena
Allah dan untuk Allah sebagaimana firman Allah:
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي
وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
{162} لاَشَرِيكَ لَهُ وَبِذّلِكَ أُمِرْتُ
وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku krena Allah pemilik
sekalian alam. Tidak ada sekutu bagiNya dan demikianlah kami diperintahkan dan
saya termasuk orang-orang yang muslim. [Al-An’am: 162-163].
Orang yang melakukan penyembelihan untuk selain Allah akan mendapat laknat dari
Allah, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ali bin Abi
Thalib.
Termasuk juga katagori bangkai adalah daging yang diambil dari binatang yang
masih hidup. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Waaqid al-Laitsi,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Apa yang diambil dari
binatang yang masih hidup adalah termasuk bangkai”. [HR. Abu Daud].
Namun ada juga bangkai yang boleh dimakan, yaitu bangkai ikan dan belalang,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
أُحِلَّتْ لَكُمْ مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ
فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
Dihalalkan bagi kita dua bangkai,…yaitu ikan dan belalang. [HR.Ibnu Majah,
Shahih lihat Silsilah Shahihah No;1118]
3. Jalalah
Yaitu binatang yang sebagian besar makanannya adalah sesuatu yang kotor atau
najis, seperti bangkai atau kotoran lainnya. Walaupun pada awalnya ia adalah
binatang yang halal dimakan, tetapi menjadi tidak boleh dimakan apabila
binatang tersebut tidak mau makan atau lebih banyak memakan sesuatu yang kotor.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin umar, beliau berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ الْجَلَّالَةِ
وَأَلْبَانِهَا
Rasulullah melarang memakan Jalalah dan meminum susunya. [HR.Abu Daud, Kitab
al-At’imah,Bab An-Nahyu an Aklil Jalah Wa Albaniha, No; 3785]
Dalam riwayat lain ditambahkan:
Rasulullah melarang memakan Jalalah dari onta, menunggangnya, dan meminum
susunya. [HR.Abu Daud, Kitab al-At’imah,Bab An-Nahyu an Aklil Jalah Wa
Albaniha, No; 376].
Agar Jalalah tersebut menjadi halal diharuskan untuk dikurung minimal tiga
hari, dan diberi makanan yang bersih atau suci, sebagaimana yang dicontohkan
oleh Ibnu Umar bahwa beliau pernah mengurung ayam yang suka makan makanan yang
kotor tiga hari (Hadits Shahih riwayat Ibnu Abi Syaibah, Irwa’ No.2504).
Maksud pengurungan itu adalah untuk mengembalikan binatang tersebut menjadi
normal, yaitu memakan makanan bersih yang biasa dia makan, sekalipun harus
mengurungnya lebih dari tiga hari atau kurang dari itu.
Kedua : Bahrii (Binatang Laut)
Yaitu binatang yang tidak bisa hidup kecuali di dalam air, jika tinggal di
darat dalam waktu yang lama akan mati. Adapun binatang air yang sekali-kali
bisa hidup di darat, seperti kepiting, dan lainnya, maka menurut jumuhur ulama
dari mazhab Maliki, Syafii, dan Ahmad adalah suci dan boleh dimakan. Inilah
yang lebih kuat karena keumuman hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, beliau bertanya kepada
Rasulullah tentang berwudhu’ menggunakan air laut, Nabi bersabda:
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Laut itu suci airnya dan halal bangkainya. [HR.Tirmidzi, Kitab Abwab
Atthaharah, Bab Maa jaa Fi Maa’il Bahri annahu thahur No.69]
Imam Tirmidzi berkata tentang hadits di atas: Hadits ini shahih dan itulah yang
dipegang oleh kebanyakan sahabat di antaranya Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas
Radhiyallahu ‘anhum.
Tetapi ada sebagian sahabat yang memakruhkan bersuci dengan air laut, seperti
Abdullah bin Umar dan Abdullah bin ‘Amr [Sunan Tirmidzi I/100].
Juga sebagaimana yang diceritakan oleh sahabat Jabir bin Abdullah ketika
mengikuti sebuah peperangan dan mengalami kelaparan yang sangat, kemudian
tiba-tiba ada ikan besar yang sudah mati terdampar di tepi laut, yang tidak
pernah dilihat sebelumnya, Jabir berkata: “Kemudian kami memakannya setengah
bulan. Dan Abu Ubaidah mengambil salah satu tulangnya dan orang yang menunggang
kuda bisa lewat di bawahnya. Abu Ubaidah berkata: “Makanlah!”. Ketika sampai di
Madinah kami menceritakan semuanya kepada Nabi, kemudian beliau bersabda:
“Makanlah!”, itu adalah rizki yang dikeluarkan oleh Allah untuk dimakan.
Kemudian beliau meminta sisa ikan yang ada dan beliau juga ikut memakannya.
[HR. Bukhari No. 4104].
Adapun binatang laut yang mempunyai nama dan bentuk seperti binatang darat
misalnya anjing laut, babi laut, maka terjadi perbedaan pendapat di antara
ulama. Mayoritas ulama mengatakan boleh dimakan, karena keumuman hadits yang
menyebutkan air laut suci dan bangkainya boleh dimakan. Namun sebagian di
antara mereka mengharuskan untuk disembelih terlebih dahulu karena termasuk
binatang yang mempunyai darah yang mengalir dan ini juga agar lebih cepat
terbunuhnya. [Majmu’ Syarah Muhazzab, Imam An-Nawawi, kitab al-Ath’imah]
MAKAN YANG HARAM DALAM KEADAAN TERPAKSA
Allah berfirman.
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ
وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ
لِغَيْرِ اللّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ
غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ
فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ
اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Sesungguhnya yang diharamkan bagimu hanyalah: bangkai, darah, daging babi, dan
apa yang disembelih karena selain Allah. Barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampau batas,
maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. [Al-Baqarah : 173]
Ibnu Katsir berkata: “Barang siapa sangat butuh kepada makanan yang haram yang
telah disebutkan oleh Allah karena dharurat (keterpaksaan) yang dihadapinya,
maka boleh dia memakannya. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
kepadanya. Dan Allah mengetahui kebutuhan hamba-Nya ketika dia dalam
keterpaksaan. Sehingga Dia memaafkan dan membolehkannya untuk memakan sesuatu
yang diharamkan-Nya. Diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: “
Sesungguhnya Allah senang rukhsah-Nya (keringanan yang Dia berikan) dilakukan,
sebagaimana Dia tidak senang larangan-Nya dilakukan. [Hadits Shahih, Irwa’ No.
564)]
Bahkan memakan binatang yang haram tersebut, hukumnya bisa wajib ketika
keadaannya memaksa, yang kalau itu tidak dimakan ia akan mati. Tetapi apakah
memakan yang haram tersebut hanya untuk sekedar pengganjal perut saja, atau
boleh sampai kenyang?, merupakan khilaf di antara ulama’. Namun ada qaidah yang
mengatakan “Addharuraat Tuqaddaru bi qadariha“ (keterpaksaan diukur sesuai
dengan ukurannya). Dan tidak ada batasan waktu, seperti: harus tidak lebih dari
tiga hari, sebagaimana yang dipahami oleh kebanyakan orang awam, tetapi kapan
saja dia terpaksa dia boleh memakannya, selama dia tidak berpura-pura terpaksa.
[Fiqhul Wajiz, Syaikkh Abdul Adzim bin Badawi Al-Khalafi, hal. 397]
Rujukan utama.
1. Kitab Al-Ath’imah (Risalah Dukturah ) Syekh Shalih Al-Faudzan
2. Al-Wajiz Fi Fiqhi Asunnah wal Kitab AL-Aziz, Syekh Abdul Adzim Al-Khalafi
3. Bulughul Maram, Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani
4. Kebanyakan rujukan juga di ambil dari disket di dalam komputer yang tidak
mencantumkan halaman dan penerbitnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VI/1423H/2002M Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]