Edisi ini, HC Jatim membahas hal yang ga biasa, bukan soal produk haram, tapi soal muamalah. Muamalah? yupp, karena muamalah juga sangat perlu kita bahas dari sisi satus kebolehannya atau keharamannya. Apalagi saat ini banyak muamalah yang diragukan dari sisi kehalalannya, mengingat makin banyaknya ragam transaksi manusia dalam upayanya memenuhi kebutuhan.
Salah satu yang perlu kita kritisi adalah soal Tas'ir. Tas'ir adalah nama lain dari pematokan harga.Saat ini harga-harga tambah meroket. Meroketnya harga bisa disebabkan oleh langkanya barang atau ghabn ( kecurangan) dalam perdagangan, misalnya penimbunan. Nah, apakah pemerintah
harus memberlakukan "pematokan harga"?, bagaimana pandangan Islam tentang hal ini? simak yuuk.
Tas’îr bentuk mashdar dari sa’’ara–yusa’’iru–tas’îr[an]. Ibn Manzhur menyebutkan di dalam Lisan al-‘Arab: as’arû wa sa’’arû (dengan huruf ‘ayn di-tasydid) maknanya sama yaitu mereka bersepakat atas harga. Ia menambahkan: at-tas’îr tahdîd as-si’ri (tas’îr adalah pembatasan/ pematokan harga).
Secara istilah, di dalam Mawsû’ah Fiqhiyah al-Kuwaitiyah disebutkan, tas’ir adalah pematokan harga untuk masyarakat oleh penguasa atau wakilnya, lalu masyarakat dipaksa berjual-beli dengan harga yang ditetapkan itu.
Imam asy-Syaukani dalam Nayl al-Awthar bab an-Nahyu ‘an at-Tas’îr menyebutkan, tas’ir adalah penguasa, wakilnya atau setiap orang yang menangani urusan kaum Muslim memerintahkan pelaku pasar untuk tidak menjual dagangan mereka kecuali dengan harga sekian, dan dilarang menambah atau mengurangi kecuali karena suatu kemaslahatan.
Tas’ir adalah pematokan harga, bisa juga berupa kesepakatan atas harga
tertentu. Pematokan atau pembatasan harga biasanya dilakukan oleh penguasa
melalui departemen/instansi terkait.
Dalam praktik, pembatasan harga itu dalam dua
bentuk. Pertama: pematokan harga maksimum/harga tertinggi, yaitu dengan
mematok harga tertinggi; penjual tidak boleh menjual dengan harga yang lebih
tinggi. Ini biasanya untuk melindungi konsumen dari eksploitasi oleh penjual. Kedua:
pematokan harga minimum/harga terendah, yaitu dengan mematok harga terendah;
pedagang dilarang membeli dengan harga yang lebih rendah. Biasanya ini untuk
melindungi produsen. Contoh: penetapan harga terendah gabah. Harga yang
dimaksud bukan hanya harga barang, tetapi juga sewa dan upah sebab sewa adalah
harga manfaat barang dan upah adalah harga jasa tenaga manusia. Jadi penetapan
UMR/UMK juga termasuk pematokan harga.
Memang biasanya pematokan harga baik minimum atau maksimum itu dilakukan oleh pemerintah melalui departemen atau lembaga terkait. Itulah yang lebih banyak terjadi sehingga secara istilah para ulama mendefiniskan tas’ir seperti itu. Namun, pematokan harga itu juga bisa dilakukan oleh para pelaku pasar; misalnya oleh para produsen, penjual, pedagang, pembeli atau para konsumen melalui perkumpulan atau asosiasi mereka. Mereka bersepakat membatasi harga penjualan atau harga pembelian, bisa dengan harga tertentu, harga terendah atau harga tertinggi, karena alasan tertentu untuk kepentingan mereka.
Hukum Tas’ir
غَلا
السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ الله فَقَالُوا يَا رَسُولَ الله سَعِّرْ لَنَا.
فَقَالَ إِنَّ الله هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ وَإِنىِّ
لأَرْجُو أَنْ أَلْقَى رَبِّى وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِى بِمَظْلَمَةٍ
فِى دَمٍ وَلا مَالٍ
Harga meroket pada masa
Rasulullah saw. Lalu mereka (para Sahabat) berkata, “Ya Rasulullah, patoklah
harga untuk kami.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allahlah Yang Maha Menentukan
Harga, Maha Menggenggam, Maha Melapangkan dan Maha Pemberi Rezeki; sementara
aku sungguh ingin menjumpai Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari
kalian yang menuntut aku karena kezaliman dalam hal darah dan harta (HR
at-Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Dawud, ad-Darimi dan Ahmad).
Abu Hurairah ra. juga menuturkan:
أَنَّ رَجُلاً
جَاءَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ سَعِّرْ. فَقَالَ: بَلْ أَدْعُو. ثُمَّ جَاءَه
رَجُلٌ فقَالَ: يَا رَسُولَ الله سَعِّرْ. فَقَالَ: بَلِ اللهُ يَخْفِضُ وَيَرْفَعُ
وَإِنىِّ لأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللهَ وَلَيْسَ لأحَدٍ عِنْدِى مَظْلَمَةٌ
Seorang laki-laki datang dan
berkata, “Ya Rasulullah, patoklah harga.” Beliau menjawab, “Akan tetapi, aku
akan berdoa (agar harga turun).” Kemudian datang lagi seorang laki-laki dan
berkata, “Ya Rasulullah, patoklah harga.” Beliau bersabda, “Akan tetapi,
Allahlah Yang menurunkan dan menaikkan (harga). Sungguh, aku berharap menjumpai
Allah, sementara tidak ada seorang pun yang memiliki (tuntutan) kezaliman
kepada aku (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Dalam hadis Anas ra. jelas dinyatakan kondisi saat harga naik drastis, lalu masyarakat meminta agar Rasulullah saw. sebagai kepala negara mematok harga. Namun, Rasul saw dengan jelas menolaknya. Alasannya, karena beliau tidak mau dituntut di akhirat karena kezaliman.
Di sini jelas, Rasul menilai
pematokan harga itu sebagai kezaliman, sementara kezaliman itu jelas haram.
Dengan demikian pematokan harga itu hukumnya sama dengan kezaliman, yaitu
haram.
Hadis Abu Hurairah ra. juga menunjukkan, ada orang datang meminta Rasul mematok harga, tetapi beliau menolak. Lalu datang orang lain meminta hal yang sama dan beliau tetap menolak. Beliau beralasan bahwa pematokan harga itu merupakan kezaliman. Beliau tetap menolak mematok harga padahal situasi pasar harga sedang meroket dan masyarakat meminta harga dipatok. Hal itu menegaskan keharaman pematokan harga itu.
Pengarang ‘Awn al-Ma’bud dan Imam asy-Syaukani dalam Nayl al-Awthar menjelaskan, “Itu merupakan kezaliman sebab masyarakat dikontrol atas harta mereka, dan pematokan harga itu berarti hijir terhadap mereka. Imam itu diperintahkan untuk memelihara kemaslahatan kaum Muslim, sementara perhatian kepada kemaslahatan pembeli dengan menurunkan harga tidak lebih utama daripada perhatian kepada kemaslahatan penjual dengan menyediakan harga yang wajar.” Memaksa pemilik barang untuk menjual dengan harga yang tidak ia sukai itu bertentangan dengan firman Allah QS an-Nisa’ [4]: 29.
Keharaman itu tidak dibatasi dalam kondisi wajar saja, namun juga berlaku pada waktu harga melambung. Sebab, di dalam hadis di atas jelas dinyatakan bahwa harga membubung, dan ternyata Rasul tetap menolak untuk mematok harga.
Jika mematok harga itu haram, lalu bagaimana negara bisa mengendalikan harga sehingga tidak merugikan baik penjual maupun pembeli? Negara bisa mengontrol harga dengan dua cara.
Pertama: memastikan mekanisme pasar berjalan
dengan sehat dan baik. Kuncinya adalah penegakan hukum ekonomi dan transaksi
khususnya terkait dengan produksi, distribusi, perdagangan dan transaksi; juga
dengan melarang dan menghilangkan semua distorsi pasar seperti penimbunan,
penaikan atau penurunan harga yang tidak wajar untuk merusak pasar;
meminimalkan informasi asimetris dengan menyediakan dan meng-up-date informasi
tentang pasar, stok, perkembangan harga, dsb; pelaksanaan fungsi qadhi hisbah
secara aktif dan efektif dalam memonitor transaksi di pasar; dan sebagainya.
Kedua: mengontrol penawaran dan permintaan dengan dua cara: (1) mengatur kontinuitas dan kelancaran produksi seperti dengan memberi asistensi dan berbagai bentuk bantuan kepada para produsen dan petani serta menjamin kelancaran transportasi dan iklim usaha yang kondusif; (2) dengan menyerap barang pada saat kelebihan penawaran (over supply) dengan cara membelinya dan menyimpannya di gudang dan sebaliknya memasok barang ke pasar saat kelangkaan (under supply) dengan mengeluarkan barang ke pasar dari gudang atau mendatangkan barang dari daerah yang surplus. Untuk itu negara perlu membentuk lembaga yang menjalankan fungsi ini (seperti Bulog). Cara ini seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab pada saat tahun paceklik (‘amm ar-ramadah) melanda Hijaz sehingga harga pangan melambung. Khalifah Umar tidak mematok harga, tetapi mendatangkan barang dari Syam dan memerintahkan Amru bin al-‘Ash wali Mesir untuk mengirimkan barang dari Mesir ke Hijaz. Dengan itu krisis pangan bisa diatasi tanpa harus mematok harga.
Dalam konteks ini negara juga harus melarang perserikatan/asosiasi produsen, konsumen atau pedagang melakukan kesepakatan, kolusi atau persekongkolan untuk mengatur dan mengendalikan harga atau perdagangan, misalnya membuat kesepakatan harga jual minimal. Hal itu berdasarkan sabda Rasul saw:
مَنْ دَخَلَ فِى شَىْءٍ مِنْ أَسْعَارِ الْمُسْلِمِينَ لِيُغْلِيَهُ عَلَيْهِمْ فَإِنَّ حَقًا عَلَى اللهِ أَنْ يُقْعِدَهُ بِعُظْمٍ مِنَ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Siapa saja yang turut campur
(melakukan intervensi) atas harga-harga kaum Muslim untuk menaikkan haga atas
mereka, maka adalah hak Allah untuk mendudukkannya di tempat duduk dari api
pada Hari Kiamat kelak (HR Ahmad, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).
Dalam hadis ini terdapat ‘illat, yaitu untuk memahalkan harga atas masyarakat. Maka dari itu, apa saja yang di situ ada unsur untuk memahalkan harga maka tercakup dalam ancaman hadis ini.
Kadangkala para produsen, penjual, pedagang, pembeli, profesi atau penyedia jasa tertentu, dsb berkumpul atau berasosiasi untuk menyepakati batas harga/sewa/upah tertentu; menghalangi harga yang lebih rendah atau lebih tinggi dari batas yang mereka sepakati; atau mengatur harga secara tak langsung dengan membagi kuota di antara mereka. Hal itu berpotensi besar memahalkan harga bagi masyarakat, dan itu jelas tercakup dalam ancaman hadis ini. Karena itu, dalam konteks seperti ini, perkumpulan atau asosiasi itu berpotensi besar menjadi wasilah ke arah keharaman sehingga hukumnya haram. Negara harus melarang perkumpulan atau asosiasi seperti itu.
WalLahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar