Minggu, 09 Februari 2014

ANTARA SYARIAH DAN FIQH

Serial Kajian Islam HC Jatim #1



Bismillaahirrahmaanirrahiim
Syari’ah memiliki pengertian yang amat luas.Tetapi dalam konteks hukum Islam,makna syariah adalah aturan yang bersumber dari nash yang qath’i. Sedangkan fiqh adalah aturan hukum Islam yang bersumber dari nash yang dzanni.
  1. Nash qath’i
Nash yang qath’i (pasti) terbagi menjadi dua: qath’i  al-tsubut ( pasti dari sudut kedatangannya) dan  qath’i al- dilalah (pasti dari sudut lafadznya). Semua ayat alqur’an itu merupakan qath’i  al-tsubut. Artinya dari segi keberadaan atau datangnya, ayat Al-qur’an bersifat pasti dan tidak mengalami perubahan.
Qath’i al-dilalah. yaitu ayat yang lafadznya tidak mengandung kemungkinan untuk dilakukan penafsiran lain. Jadi pada ayat yang qath’i  al-dilalah tidak mungkin dilakukan penafsiran dan ijtihad, sehingga pada titik ini tidak mungkin ada perbedaan pendapat ulamaa.contohnya adalah ayat tentang kewajiban sholat, ini tidak dapat disangkal lagi karena dalilnya bersifat qath’i, yaitu: ” aqiimussholaah”. Tidak ada ijtihad dalam kasus ini sehingga semua ulama dari semua madzab sepakat dalam kewajiban sholat.
Pada Hadis mutawatir, mengandung sifat qath’i al-wurud ( qath’i dari segi keberadaannya). Tapi tidak semua hadis itu qath’i al-wurud. Demikian pula, tidak semua hadis mutawatir itu bersifat qath’i al-dilalah. Ketentuan ini  bisa disederhanakan sebagai berikut:
a.       Qath’i al-tsubut atau qath’i al-wurud: semua ayat al –qur’an dan hadis mutawatir
b.      Qath’i al-dilalah: tidak semua ayat alqur’an dan hadis mutawatir

2       2. Nash Dzanni

Nash dzanni terbagi dua: dzanni al tsubut (dari sudut datangnya) dan dzanni al-dilalah ( lafadznya). Contohnya: ayat tentang quru’ ( QS  2:228). Dalam hadis juga seperti itu . Ada yang bersifat dzanni al-wurud dan dzanni al-dilalah. Dalam hal ini bisa jadi ada perbedaan pendapat dikalangan para  ulama.sebagian boleh jadi memandang bahwa hadis ini shahih, disisi lain bisa jadi ada ulama yang tidak menshahihkannya.Selain dzanni  al-wurud juga ditemukan adanya dzanni al-dilalah, oleh karena itu terbuka peluang untuk beragam penafsiran juga.

Sederhananya sebagai berikut:
a.       Dzanni al wurud: selain hadis mutawatir
b.      Dzanni al- dilalah: lafadz dalam hadis mutawatir dan lafadz dalam hadis lain (hadis mahsyur dan khabar ahad).


Menentukan Syari’ah dan Fiqh

Syariah tersusun atas nash yang qath’i,  sedangkan fiqh tersusun dari nash yang dzanni.
Contohnya: 

a.        Tentang kewajiban puasa ramadhan,  nashnya qath’i ( ini syariah). Kapan mulai puasa dan kapan akhir Ramadhannya,  nashnya dzanni ( ini fiqh).Karena dari dalil penentuan awal akhir Ramadhan adalah dilakukan dengan melihat bulan. Makna “melihat” ini multitafsir.

b.        Membasuh kepala saat berwudlu ( nashnya qath’i dan ini syariah), sampai mana membasuh kepala (itu danni dan ini fiqh).   Kata “bi” pada kata famsahuu bi ru’usikum terbuka untuk ditafsirkan.

c.       Memulai salat harus dengan niat ( nash qath’i dan ini syariah). Apakah niat itu dilisankan ( dengan ushalli) atau cukup dalam hati (ini fiqh).
Catatan: sebagian ulama memandang perlu niat itu ditegaskan dalam bentuk ushalli sedangkan ulama lain memandang bahwa niat dalam hati saja sudah cukup.

d.      Judi itu dilarang  ( nash qath’i dan ini syariah).
apa yg disebut judi itu ? apakah lotere juga judi ( ini fiqh)
Catatan: para ulama berbeda dalam pandangan  dalam mengurai unsur suatu perbuatan bisa disebut judi atau bukan.

Sederhananya, syara’ adalah bahan utama dalam pembuatan fiqh, dan berbicara masalah fiqh maka akan terjadi banyak khilafiyah di antara para ulama, karena dalil syara yang digunakan bersifat dzanni ( berpotensi banyak penafsiran).

Setiap madzab memiliki penafsiran  fiqh yang berbeda. Tapi haruskah kita mengikuti satu madzhab? Disini  kita boleh mengikuti tidak hanya satu madzab saja, melainkan beberapa madzab yang ada  yang sudah divalidasi oleh para ulama sbg madzab yang representatif mewakili setiap point dari hukum Islam. Misalnya 4 madzab yang telah kita kenal yaitu madzab Syafi’i, Maliki, Hambali dan Hanafi, karena madzab ini disamping mempunyai ittishalus sanad ( bersambungnya sanad sampai ke pembuatnya) juga komplit dari segi pembahasan hukumnya.

Yang menjadi titik tekan disini adalah kita boleh mengikuti madzab tertentu dan boleh pindah ke madzab lainnya dengan catatan harus satu qadiyah ( satu rangkai). Misal dalam puasa, kita ikut Hanafi, maka dalam hal shalat kita boleh ikut Syafi,i dan harus beserta syarat, rukun, dan hal-hal yang membatalkannya masing-masing.

Misalnya wudlu ikut Maliki itu boleh asal syarat, rukun dan mubtilatnya terpenuhi. Kemudian shalatnya ikut Syafi’i. Penjabaran tentang qadliyah itu meliputi syarat, rukun dan mubtilat. Tidak boleh melakukan talfiq yaitu mencampur adukkan  madzab dalam satu qadiyah. Dalam kondisi tertentu kita boleh berpindah madzab dari yang biasa kita pilih karena suatu alasan. Misalnya pd saat ibadah haji kita mengikuti madzab bahwa bersentuhan kulit dengan pria/wanita non mahram tidak membatalkan wudlu ( Maliki) karena kondisi yang tidak memungkinkan menerapkan madzab lain yang membatalkan wudlu ( Syafi’i).

Demikian pembahsan perbedaan antara syariah dan Fiqh. Semoga bermanfaat.