Bismillaahirrahmaanirrahiim
Syari’ah memiliki pengertian yang
amat luas.Tetapi dalam konteks hukum Islam,makna syariah adalah aturan yang
bersumber dari nash yang qath’i. Sedangkan fiqh adalah aturan hukum Islam yang
bersumber dari nash yang dzanni.
- Nash qath’i
Nash yang qath’i (pasti) terbagi
menjadi dua: qath’i al-tsubut ( pasti
dari sudut kedatangannya) dan qath’i al-
dilalah (pasti dari sudut lafadznya). Semua ayat alqur’an itu merupakan
qath’i al-tsubut. Artinya dari segi
keberadaan atau datangnya, ayat Al-qur’an bersifat pasti dan tidak mengalami perubahan.
Qath’i al-dilalah. yaitu ayat
yang lafadznya tidak mengandung kemungkinan untuk dilakukan penafsiran lain. Jadi
pada ayat yang qath’i al-dilalah tidak mungkin
dilakukan penafsiran dan ijtihad, sehingga pada titik ini tidak mungkin ada
perbedaan pendapat ulamaa.contohnya adalah ayat tentang kewajiban sholat, ini tidak
dapat disangkal lagi karena dalilnya bersifat qath’i, yaitu: ” aqiimussholaah”.
Tidak ada ijtihad dalam kasus ini sehingga semua ulama dari semua madzab
sepakat dalam kewajiban sholat.
Pada Hadis mutawatir, mengandung
sifat qath’i al-wurud ( qath’i dari segi keberadaannya). Tapi tidak semua hadis
itu qath’i al-wurud. Demikian pula, tidak semua hadis mutawatir itu bersifat
qath’i al-dilalah. Ketentuan ini bisa disederhanakan
sebagai berikut:
a.
Qath’i al-tsubut atau
qath’i al-wurud: semua ayat al –qur’an dan hadis mutawatir
b.
Qath’i al-dilalah: tidak
semua ayat alqur’an dan hadis mutawatir
2
2. Nash Dzanni
Nash dzanni terbagi dua: dzanni al tsubut (dari sudut
datangnya) dan dzanni al-dilalah ( lafadznya). Contohnya: ayat tentang quru’ (
QS 2:228). Dalam hadis juga seperti itu
. Ada yang bersifat dzanni al-wurud dan dzanni al-dilalah. Dalam hal ini bisa
jadi ada perbedaan pendapat dikalangan para
ulama.sebagian boleh jadi memandang bahwa hadis ini shahih, disisi lain
bisa jadi ada ulama yang tidak menshahihkannya.Selain dzanni al-wurud juga ditemukan adanya dzanni al-dilalah,
oleh karena itu terbuka peluang untuk beragam penafsiran juga.
Sederhananya sebagai berikut:
a. Dzanni al wurud: selain hadis mutawatir
b. Dzanni al- dilalah: lafadz dalam hadis mutawatir dan lafadz
dalam hadis lain (hadis mahsyur dan khabar ahad).
Menentukan Syari’ah dan Fiqh
Syariah tersusun atas nash yang qath’i, sedangkan fiqh tersusun dari nash yang
dzanni.
Contohnya:
a.
Tentang kewajiban puasa ramadhan, nashnya qath’i ( ini syariah). Kapan mulai
puasa dan kapan akhir Ramadhannya, nashnya dzanni ( ini fiqh).Karena dari dalil
penentuan awal akhir Ramadhan adalah dilakukan dengan melihat bulan. Makna “melihat”
ini multitafsir.
b.
Membasuh kepala saat berwudlu ( nashnya
qath’i dan ini syariah), sampai mana membasuh kepala (itu danni dan ini fiqh). Kata “bi” pada kata famsahuu bi
ru’usikum terbuka untuk ditafsirkan.
c.
Memulai salat harus dengan
niat ( nash qath’i dan ini syariah). Apakah niat itu dilisankan ( dengan ushalli)
atau cukup dalam hati (ini fiqh).
Catatan:
sebagian ulama memandang perlu niat itu ditegaskan dalam bentuk ushalli
sedangkan ulama lain memandang bahwa niat dalam hati saja sudah cukup.
d.
Judi itu dilarang ( nash qath’i dan ini syariah).
apa yg disebut
judi itu ? apakah lotere juga judi ( ini fiqh)
Catatan: para
ulama berbeda dalam pandangan dalam mengurai
unsur suatu perbuatan bisa disebut judi atau bukan.
Sederhananya, syara’ adalah bahan utama dalam pembuatan
fiqh, dan berbicara masalah fiqh maka akan terjadi banyak khilafiyah di antara
para ulama, karena dalil syara yang digunakan bersifat dzanni ( berpotensi
banyak penafsiran).
Setiap madzab memiliki penafsiran fiqh yang berbeda. Tapi haruskah kita
mengikuti satu madzhab? Disini kita
boleh mengikuti tidak hanya satu madzab saja, melainkan beberapa madzab yang
ada yang sudah divalidasi oleh para
ulama sbg madzab yang representatif mewakili setiap point dari hukum Islam.
Misalnya 4 madzab yang telah kita kenal yaitu madzab Syafi’i, Maliki, Hambali
dan Hanafi, karena madzab ini disamping mempunyai ittishalus sanad (
bersambungnya sanad sampai ke pembuatnya) juga komplit dari segi pembahasan
hukumnya.
Yang menjadi titik tekan disini adalah kita boleh mengikuti
madzab tertentu dan boleh pindah ke madzab lainnya dengan catatan harus satu
qadiyah ( satu rangkai). Misal dalam puasa, kita ikut Hanafi, maka dalam hal
shalat kita boleh ikut Syafi,i dan harus beserta syarat, rukun, dan hal-hal
yang membatalkannya masing-masing.
Misalnya wudlu ikut Maliki itu boleh asal syarat, rukun dan
mubtilatnya terpenuhi. Kemudian shalatnya ikut Syafi’i. Penjabaran tentang qadliyah
itu meliputi syarat, rukun dan mubtilat. Tidak boleh melakukan talfiq
yaitu mencampur adukkan madzab dalam
satu qadiyah. Dalam kondisi tertentu kita boleh berpindah madzab dari yang
biasa kita pilih karena suatu alasan. Misalnya pd saat ibadah haji kita mengikuti
madzab bahwa bersentuhan kulit dengan pria/wanita non mahram tidak membatalkan
wudlu ( Maliki) karena kondisi yang tidak memungkinkan menerapkan madzab lain
yang membatalkan wudlu ( Syafi’i).
Demikian pembahsan perbedaan antara syariah dan Fiqh.
Semoga bermanfaat.